Pilih Bahasa yang kamu kuasai,
Choose your language! To facilitate understanding this blog!
Powered By Blogger

Monday, August 23, 2010

Journey to Karimunjawa

oleh Anang Widhi Nirwansyah

Day 1st : Race Against the Sun


Cerita dimulai sejak balik dari Yogya dulu untuk sebuah konferensi Maritim itu. Dan kupikir kuperlu referensi, realitas, dan juga data aktual sekedar sebagai komparasi dari temuan para rekan scientist yang mungkin dalam kriteria sebagai pengamat, bukan penikmat. But, rencana melancong kali ini tak jauh-jauh hari kupersiapkan. Hanya sekedar bawa badan dan beberapa pakaian, namun lagi-lagi aku berharap tak hanya sekedar bermain pasir, menelan air garam, ato lari-larian di pantai dengan setengah telanjang. Janji suci sebenarnya pada diri sendiri untuk merefresh pikiran dan tentu melihat keagungan Allah dalam bentuk lancscape indah di gugus kepulauan Karimunjawa, dengan berlibur ala backpacker. Maklumlah, aku bukan tipe orang penggemar Mall dan pusat perbelanjaan sebagai ajang pelarian dan mencari hiburan di perkotaan. Jauh lebih merasa nyaman berada bibir pantai sambil bersepeda, ketimbang nongkrong dengan pakaian rapi di Foodcourt …kecuali kalo ada yang nraktir tentunya hehe.

A day before, sempat pula korespondensi dengan temen yang sebenarnya ngebet pengen ngikut, tapi yah namanya juga karyawan, tak gampang lepas dari tali kekang peraturan, dan musti merelakan diri hanya sebagai pendengar cerita klise temannya ntar waktu pulang. Meski aku yakin, kesenangan dan kebahagiaan tak harus jauh-jauh didapet dari liburan. Terkadang hal sederhana yang terjadi di sekitar bisa memberikan alasan bagi kita untuk tersenyum dan tertawa, bahkan kehilanganpun terkadang menjadikan sebuah kebahagiaan. Tapi tak apalah, hopefully u can join to my next acation…Insya Allah.

Day first dmulai dengan bngun pagi terus mandi sekedarnya, asal kena dan sarapan seadanya. Jalan kaki ke Terminal Terboyo. Ternyata bersepeda ada gunanya juga setidaknya kuat untuk jalan kaki sejauh hampir 4 km…meski botol minuman udah tinggal setengahnya. Ketika itu masih gelap, saat memulai langkah pertama keluar dari gubug dan berpamitan kepada perempuan yang kemarin terlibat bersama dalam penemuan seekor mayat tikus raksasa. Aku tahu dia akan berat melepaskan kepergianku, tapi apa boleh buat..dia merelakannya dengan tanpa air mata, hanya sedikit berkaca, yang menurutku menunjukkan sebuah harapan agar kelak kembali dengan membawa bungkusan…haha. Salam serta doa pun keluar dari mulutnya, sesaat sebelum kuamini dan kujawab dengan sedalam-dalamnya hati.

Di terminal kubertemu temanku itu dan tampaknya dia lebih well prepare ketimbang diriku. Dengan penampilan yang cukup meyakinkan sebagai seorang pelancong. Tetapi setidaknya aku masih merasa nyaman dengan apa yang kukenakan, dan yang jelas kesopanan tetaplah yang aku utamakan. Di pertemuan pertama kami setelah sebelumnya hanya berhubungan lewat telepon dan dunia maya, kami langsung saling menyapa dan tanpa banyak canda kita langsung menuju ke bus mini yang akan mengantarkan kami ke Jepara. Tak lama setelah kami naik, bus tersebut berangkat dengan membawa beberapa penumpang. Sepanjang perjalanan tak sedikit rasa kantuk di mataku, hanya sekedar rasa lapar karena energi yang kudapat dari breakfast tadi ternyata hanya cukup sampai di terminal.

Kulihat jam, dan kuperkirakan akan cukup waktu untuk sampai kesana dengan kecepatan rata-rata. Meskipun pada akhirnya ku salah, karena tampaknya ketepatan waktu bukanlah yang mereka utamakan, hanya sekedar mengejar setoran dengan pelayanan ala pas-pasan. Untungnya ku dapat tempat duduk, karena sampai di Demak, sungguh tak bisa kubayangkan kendaraan semungil ini musti mengangkut banyak penumpang dengan barang bawaan yang extraordinary..mulai sayuran, ayam potong, hingga sekarung bawang. Hingga kaki ku musti diangkat karena aku mendapat titipan untuk menjaga dagangan seorang perempuan tua, yang kurasa itu adalah makanan. Dan sejenak kemudian aku mendapatkan kesempatan untuk membantu memangku keranjang belanja seseorang. Dan itulah kebahagiaan, sambil tentunya bicara dengan mereka tentang hal-hal simpel selama perjalanan yang cukup membuatku bisa tertawa di tengah sela-sela badan para penumpang yang bergelantungan. Dua jam perjalanan yang sungguh menguras stamina, meski sebagian waktu kuhabiskan hanya dengan duduk dan berdoa agar kendaraan ini rodanya tidak lepas karena beban yang sungguh luar biasa. Serasa mengejar matahari, karena kuyakin kami adalah orang yang bakal terakhir kali naik kapal. Dan tentu agak memalukan jika kami ketinggalan, dengan harapan masih ada tempat duduk kosong nanti di kapal karena tak mungkin berdiri selama lebih dari 6 jam di tengah lautan. Hingga pada akhirnya kami sampai pada tujuan yakni di Dermaga Jepara. Kami segera menemui grup rombongan kami yang lain yang ternyata datang lebih pagian. Meski demikian tak sempat kami untuk berlama-lama sebelum terompet kapal berbunyi, yang menandakan para penumpang untuk segera masuk. Dan sekali lagi pemandangan luar biasa yang hampir membuatku tak percaya. Ternyata kapal sudah terlihat penuh, meski penumpang yang belum naik masih antri di dermaga. It must be crazy, if we stick to ride that ship. Meski demikian kutahu ini musim liburan sehingga angka wisatawan meningkat luar biasa dari hari biasanya.

Kamipun naik bersama puluhan penumpang lain yang membawa tiket, meski sebelumnya jembatan kapal ferry telah ditutup karena penumpang penuh, namun tampaknya kami lebih siap untuk mati tenggelam daripada mesti menunggu 3 hari untuk kedatangan kapal berikutnya. Setelah bernegosiasi, akhirnya kamipun dibiarkan untuk naik ke kapal yang aku yakin sudah overcapacity. Kurasa ini pagi yang indah untuk mengakhiri hidup..haha. hampir tiap sudut kapal sudah dipenuhi manusia, baik pedagang, ataupun wisatawan, baik singkong, kelapa, ataupun mobil mewah, tampaknya kami semua sudah tak peduli lagi dan tak sabar untuk menyeberang ke pulau kecil di sebelah utara Jawa yang cukup dikenal keindahannya. Kami mulai mencari tempat untuk duduk, meskipun hampir mustahil karena di tiap pojok, hingga di lantai sungguh hanya ada manusia, dengan wajah bangga karena berhasil menancapkan bendera kekuasaannya, setidaknya selama enam jam ke depan. Dan akhirnya kami naik ke lantai atas yang beratapkan langit dengan tanpa pengamanan. Itupun dengan ratusan penumpang yang sudah duduk berpanas-panasan tanpa atap dan alas duduk. Inilah negriku, dimana semuanya butuh kesabaran dan aku yakin perjalanan ini pasti hebat, meski pada saat bersamaan aku berharap ini adalah Titanic ataupun Awani Dream…but well, this is much better, and I hope there is a GPS in this boat.


Tampaknya kami masih beruntung mendapat celah disela-sela penumpang dan mulailah kami meletakkan bawaan kami yang banyak dan menyita banyak tempat dan mulai berharap kapal ini segera berangkat, karena kami bisa membayangkan ketika terik nanti tempat ini bakalan seperti penggorengan. Sejenak benda inipun bergerak bagai kura-kura, entah karena jumlah penumpang atau karena mesin yang sudah tua. Angin sepoi-sepoi bertiup dan mengantarkan perjalanan kami menuju Carribean van Java. And this is the start of my journey, when everythings crazy is going to happen..


2 Day 1st : We know how to get here…


Mendarat dengan selamat di Pulau karimunjawa dengan sisa nyawa yang telah menguap sebelumnya. Bawaan menjadi sedikit lebih ringan karena, makanan yang tertelan sepanjang perjalanan yang nyaris jauh dari membosankan. Hanya gelak tawa yang terdengar, meskipun sesekali mengeluh kapan sampainya, karena di samping kanan dan kiri yang terlihat hanyalah riak air dan gelombang yang membuat kepala pusing bukan kepayang. Bahkan ku mesti mencari titik presisi yang aman untuk menyelematkan diri dari dengung suara mesin yang tak jauh dari tempat duduk kami yang langsung berhadapan dengan sinar matahari.

Pendaratan yang berjalan mulus mengharuskan kami untuk segera bergegas diantara derap langkah para penumpang lain yang jauh lebih sigap dan bersemangat untuk memijakkan kaki ke dermaga mungil dengan fasilitas seadanya. Sementara kami yang kebetulan cukup memiliki kesabaran, memilih untuk menunggu sembari melakukan pemanasan untuk mengabadikan suasana dengan lensa kamera, yang entah kenapa hasil bidikannya selalu terlihat hebat jauh dari keadaan sebenarnya apalagi kesan seadanya. Mungkin itulah yang menyebabkan mereka lebih sibuk dengan lensa mereka ketimbang berdesak-desakan untuk segera memijakkan kaki di Pulau Karimunjawa. Entitas luar biasa di sepanjang tangga yang kecil yang memaksa kami untuk sedikit sabar dan berhati-hati setidaknya agar tidak mati konyol karena terpeleset, dan terinjak-injak.

Ketika keramaian mulai sedikit sirna kamipun segera bergegas untuk turun dari balkon di atas, dan menyatu dengan pasukan lain yang tampaknya sudah ingin segera menghempaskan tubuhnya di kasur penginapan, ataupun menenggak welcome drink berupa es kelapa muda yang sudah Semenjak pagi ada di kepala mereka. Kami yang sebagian merupakan fotografer profesional..haha, I mean professionally sucks and stupid until we don’t know how to get out from this ship…My jokes, namun beruntunglah kami keluar dan mendarat meski ternyata efek “goyang-goyang” masih tetap terbawa hingga sampai ke daratan. Sensasi yang aneh memang, ketika para warga lokal cukup fasih melangkahkan kaki dengan barang bawaan mereka yang banyak, sementara kami berusaha menapakkan kaki dengan benar, meskipun tetap berusaha untuk tampil gaya dan mempesona tanpa pernah tahu siapa penontonnya, hingga sampai di depan aula kantor tourist information, yang sudah dijejali pengunjung yang barangkali bertanya “Kami ada dimana?”…Such a crazy people. Kami berdua puluh belum berniat untuk masuk, sekedar duduk di halaman sambil berusaha mengumpulkan kembali kesadaran. Egih, Lusi, Yuni, Fie, Winny, San, Chyta and her…”associate”, para gadis UGM, plus Aku ataupun yang lain kurasa sudah cukup hafal bahwa kami pasti akan kalah untuk urusan antrian, sehingga strategi menunggu, dan tetap dengan kamera-kamera itu kami berusaha memotret diri sendiri yang letih namun sebagaimana sebelumnya, selalu ada energi lebih saat timer kamera sudah mulai menyala. Dan cepret…wajah kusut, lusuh dan letih tak terlihat sama sekali di monitor, entah kenapa alat itu selalu memberi sentuhan warna, setidaknya cukup canggih untuk mengaburkan fakta dan kondisi sebenarnya, hehehe. Meskipun disisi lain kurasa itu lebih karena teknik dan pengaturan komposisi yang merupakan bagian dari latihan dasar yang musti dikuasai para juru foto itu. That was the thing I’ve got in my midnight interview.

Kami duduk di depan barang-barang bawaan kami, dan kagum akan kuantitasnya yang extraordinary. Dengan barang sebanyak ini, yang jelas kami butuh kendaraan dengan bak terbuka. Dan ketika pula itu dia datang, jelas sekali tak akan cukup sekali angkut, karena hampir semua orang membawa ransel dan perlengkapan yang terkadang agak berlebihan. Namun, tentu selalu ada alasan untuk berjaga-jaga, atau lebih tepatnya khawatir. Sehingga ada salah seorang peserta yang membawa lebih dari 14 stel pakaian, plus jaket dan pakaian renang hanya untuk 4 hari liburan…OM God. And “She” said “I don’t think it’s enough” haha.. Dan setelah kutanya, inilah perjalanan pertamanya dimana semua serba misteri hingga setiap detil perlengkapan, perbekalan, hingga semua cadangan musti disiapkan secara optimal dan jauh-jauh hari, dan hal itu bisa aku maklumi.

Sejenak keriuhan mulai berkurang dan aula tersebut sedikit lengang. Kucoba menaiki tangga disana dan melihat sekeliling, sekaligus sekedar berteduh dengan hembusan angin yang cukup membius. Di meja FO tampak seorang pemuda yang selalu tersenyum ketika disapa. Dengan rela dia memberikan informasi kepada para pelancong meskipun tampaknya barusaja dia menghadapi serbuan pertanyaan dari wisatawan yang baru saja tiba. Dan buku tamu itu pun disodorkan ketika ku mendekat kesana. Dengan sapa dia memintaku mengisi buku itu, dan memberikan selembar brosur promosi yang berisi informasi spot-spot wisata menarik di Gugusan kepulauan karimunjawa. Ternyata lembaran itu adalah lembaran tersisa, yang sebenarnya disimpan untuk dirinya sendiri. Namun tentunya, dia sudah mengenal daerah ini dan merelakannya diberikan ke pengunjung hari ini.

Kembali ke tempat tunggu, sesaat sebelum mobil kembali datang dan kami angkat sisa barang bawaan, untuk kemudian sekaligus menjadi penumpang di kendaraan karena sisa tempat yang masih bisa digunakan. Beberapa orang ikut naik, entahlah aku saja ataupun mereka juga merasakan penat, meski sebelumnya kami cuman duduk menunggu dan berharap. Beranjak kami ke mobil itu dan kemudian berjalan. Kulihat sekitar dan coba melakukan assesement, mulai kondisi jalan, bentuk rumah, kegiatan masyarakat, beberapa hal konyol lain, seperti drainase, pembuangan limbah, kegiatan ekonomi…haha, selayaknya instrumen yang telah kusiapkan ala kadarnya di malam sebelum aku berangkat. Yah, meskipun tidak semua tercatat. But, semua terekam dengan jelas lewat mata, dan pikiran…meskipun sebagian besar yang kuingat adalah bagian goncangan di kapal barusan yang cukup membuatku nyaris kehilangan kesadaran...hihi.

Bagian yang paling menyenangkan ketika ternyata ada tempat sisa untuk kami menumpang di bak terbuka. Dengan berimpitan dan diantara tumpukan barang bawaan rekan-rekan lain yang telah menapakkan kaki dan melangkah menuju ke penginapan, kami bergelayutan di kendaraan bak terbuka yang sebenarnya juga mesti mendapat beban ekstra bagi sekumpulan backpacker yang rada ogah-ogahan untuk berjalan. Dan dengan sekuat tenaga mesin mobil itu meraung pada angkatan perseneling pertama yang hampir menguras suplai bahan bakar yang tampaknya masih menggunakan bahan bakar bersubsidi. Namun, sesaat kemudian mulailah mobil itu berjalan dan membelah jalinan sempit pulau caribia di utara jawa, yang barangkali di sandingkan dengan Maladewa, Hawaii, Vanuatu..ataupun negara-negara kepulauan lain yang kebanyakan secara geologis merupakan back arc dari sirkum pegunungan dunia….meskipun tak semua, yang juga mengalami permasalahan serius karena kenaikan tinggi permukaan air laut sebagai dampak global warming. Itulah sebabnya mengapa mereka berteriak lantang saat diadakan pertemuan UNFCCC di Bali ketika itu, di saat negara-negara Eropa menganggap hal tersebut sebagai hal yang tidak terlalu serius. Bahkan mereka membentuk paguyuban negara-negara kepulauan yang sangat rentan tenggelam akibat perubahan iklim, dengan nama AOSIS "Alliance of Small Island States". Yah, namun tentu mereka tidak akan bisa berjuang sendiri tanpa adanya dukungan dari negara kepulauan seperti Indonesia yang tampaknya juga tak terlalu repot dengan isu global ini, bahkan tampaknya angka pengrusakan hutan, dan pencemaran lingkungan juga tidak menurun secara signifikan sebagai dampak minimnya law enforcement dalam masalah lingkungan.

Sejalan dengan putaran roda yang mulai melambat, sampailah kami di penginapan yang ternyata tak sampai satu menit dengan berkendara. Kuberharap mobil ini berjalan agak lebih lama sambil kumenghirup udara pantai dan melihat pemandangan masyarakat asli pulau. Tapi tampaknya destinasi siang itu pun berakhir di depan sebuah warung kecil di pinggir jalan. Dan kulihat teman-teman yang lain sudah memegang gelas berisi es kelapa muda yang cukup menggairahkan bagi para petualang sejati meski tak mau capek-capek jalan kaki. Dan refleks kami langsung menghampiri sumber pangan satu-satunya yang diperbolehkan untuk disantap tanpa harus mengeluarkan kocek yang tak seberapa. Karena di pulau ini tak kutemukan ATM, atau bank besar…hanya koperasi nelayan yang tak mungkin memberikan pinjaman untuk segelas minuman. Setelah itupun kami bergegas menuju homestay kami sesuai dengan grup yang telah disepakati secara sepihak oleh kami-kami sendiri. Masuklah kami ke kediaman Pak Fandi, seorang guru, ustad, dan putra dari tokoh masyarakat asli karimunjawa yang cukup hangat, open minded, dan terpelajar. Setidaknya, kami cukup banyak berbicara, terlebih karena kami sama-sama fasih berbahasa jawa sehingga tidak terlalu repot untuk sekedar membicarakan hal-hal sederhana dan tak juga malu untuk berbagi pengalaman masa kecil hingga berkeluarga.

Kami serombongan 4 pria 14 wanita..haha. Angka yang cukup menarik, but sebenarnya aku sudah siap untuk tak kebagian kamar dan musti nunggu lama untuk menggunakan kamar mandi. But itulah namanya berbagi, meskipun berteriak emansipasi, namun kurasa ini lebih tepat disebut diskriminasi…hehe, my jokes…don’t take this too much. Namun kurasa kami tim yang hebat, dengan berbagai keanekaragaman latar belakang, setidaknya kami bisa saling menghargai, terutama saat makan, dan mandi pagi. Serasa tinggal di kampung kecil berisi pemuda-pemudi tanggung yang siap berpetualang selama beberapa hari ke depan. Namun, sekali lagi Alhamdulillah kami akhirnya sampai di pulau ini, dan dengan penat yang masih dirasakan, kami menikmati hidangan yang telah disajikan sebelumnya dengan makan bersama dan saling berbagi rasa, sebagai bagian dari keindahan wisata di Pulau utama Karimunjawa. Kurasa hal-hal indah saja yang ingin kutampilkan, tapi relationship ini jelas sungguh sesuatu yang juga tak ternilai dan memberikan nuansa yang nyaman dan juga menyenangkan. Dan sekali lagi akan kupilah-pilah kembali memori liburan kemarin yang bisa kutulis ulang dengan melihat foto-foto kalian yang hampir 4 GB itu, dengan kelucuan, dan background keindahan pulau yang tak tergantikan.



3 Day 2 : If The Sun Shines Too Early


Day 2

Hari kedua kumulai sejak pukul 3.00, ketika si empunya rumah, mengisi bak penampungan air yang ternyata terletak di atas kamar. Itulah yang membuatnya tetap terjaga, untuk memastikan bak itu tidak meluap dan membuat banjir lokal di dalam rumah. Suara berisik mesin pompa membuat tidurku yang kebetulan juga setengah-setengah menjadi terganggu, lebih tepatnya memaksaku untuk menemani beliau bicara sedikit banyak hal. Kami tidak memilih tema yang berat ketika itu, sekedar membahas rekan-rekan kami yang kebetulan sedang beristirahat dengan segala mimpi mereka.Kulihat di ruang tengah, tampak berserakan ransel besar dengan isinya yang telah dimuntahkan. Itupun sedikit mengingatkanku pada sebuah pemandangan disebuah universitas di Yogya, dimana banyak pria beruban dengan ransel dipunggungnya. Karena pemandangan semacam ini tak pernah kutemukan saat masih kanak-kanak. Kebanyakan yang mengenakannya adalah bocah-bocah berseragam putih merah itupun isinya cuman makanan dan beberapa buah buku dengan sampul rapi dan bertuliskan nama mereka. Barangkali pria-pria tua itu sedang bernostalgia,karena masa kecilnya yang tak kenal sepatu, seragam, apalagi tas punggung.Boleh jadi demikian namun bisa pula tidak, yang jelas pemandangan yang sebenarnya biasa itu menghiasi sudut-sudut kota pelajar.

Setelah sejenak melakukan tanya jawab, dengan bahasa Jawa, sembari mengingat apa yang ada dalam instrumenyang telah kupersiapkan. Entahlah, kupikir sebagian besar yang kulakukan cuman menguap dan bertanya kapan shubuhnya. Dan setelah itu pun, seruan shalat ituberkumandang. Bergegaslah kumenuju mushola yang letaknya tepat di sebelah kiri rumah. Cukup mini memang, but Alhamdulillah masih ada juga yang datang memenuhi panggilan Tuhan, dan masih juga kutemui beberapa anak yang juga diajak untuk memenuhi kewajiban Sang Pencipta. Selesai mengerjakan shalat kukembali ke Pusat Komando, dan mulai kulihat aktivitas disana. Setidaknya beberapa dari teman telah bangun, meski cuman duduk dengan mata terpejam dan tatanan rambut yang sedikit lucu..haha. But, sleeping is the way you look honest, without no shame,do some ridiculous things... Untung tadi kagak ada yang liat aku tidur haha.Terbersit keinginan untuk mengambil gambar mereka, yang terakhir kali kulakukan itu saat SMA, dan tak terlalu menimbulkan sensasi luar biasa. Kupikir itu juga cukup kekanak-kanakan, jadi kubiarkan saja mereka dengan tampilan aslinya,sambil menikmati wajah lugu dan jujur mereka yang sebenarnya sangat mungkin untuk diabadikan.

Agenda yang kami sepakati sebenarnya pagi ini adalah berburu sunrise di sebelah timur pulau, yang menurut informasi, semestinya seorang pemburu sunrise musti standby pukul 4.00 pagi, dan sebenarnya sudah disepakati semalam sebelumnya. Namun, tampaknya semangat saja tak cukup ampuh untuk dapat membangunkan kami-kami lebih awal, hanya beberapa abnormal saja yang kebetulan terpaksa bangun jauh-jauh dari kesepakatan. Dan kulihat waktu sudah menunjukkan pukul 5.03. terlambat 63 menit dan kita masih sibuk dengan urusan kamar mandi, karena sesuai prediksi, spot itulah yang bakalan diperebutkan selain sunblock dan sepiring nasi. Untung aku tak perlu antri tadi..haha. Dan beberapa akhirnya keluar dari rumah, dan siap dalam perburuan. Mungkin sebenarnya kamilah yang diburu, karena langit tampaknya sudah mulai terang, meski jarak pandang masih terbatas.

Tetap dengan jaket ijo, njeans coklat..rada gak konek, but nevermind, aku dan beberapa teman lain sudah start untuk jalan. Ada Egih, Yunni and Fie yang kebetulan dapet motor pinjeman,n langsung meluncur ke lokasi. But, aku lebih memilih kaki ini sebagai moda transportasi compact yang tak perlu banyak persiapan. Cukup stretching dan pemanasan yang sebenarnya sudah kulakukan sebelumnya. Bersama Teteh Lusi, gadis kelahiran 1982 yang musti melakukan negosiasi panjang kepada Bundanya untuk liburan 4 hari di Karimunjawa...oke, u did a good job. Kami berjalan cepat menyusuri kampung yang ternyata masih hening, sambil berekspektasi akan mendapat pemandangan indah nanti. Meskipun sebenarnya kami tak tahu sedang berjalan kemana, namun Mental Map yang secara natural aktif dalam diri seorangpria, memastikan kami tahu arah yang hendak kami tuju sekaligus mengatur nafas sehingga tak sampai merasakan ngilu karena kekurangan suplai oksigen pada bagian-bagian tubuh tertentu. Sambil membicarakan hal simpel, ku berharap ada kendaraan lewat agar bisa mengejar ketertinggalan kami setidaknya untuk sisawaktu perkiraan 15 menit sebelum matahari mulai menunjukkan dirinya dengan intensitas cahaya yang berlipat ganda dari sebelumnya.

Tiba-tiba seorang pria paruh baya muncul dengan motor dan lewat di depan kami. Kucegat dia sambil menawarkan diri untuk menjadi penumpang pertamanya pagi ini. Beliau bukanlah tukang ojek memang, namun tak perlu banyak bicara akhirnya dia mau mengangkut kami menuju ke Nirvana Lodge yang cukup terkenal di pulau ini. Kami berdua yang sebenarnya sudah masuk kategori dewasa ini numpang di motornya yang sebenarnya agak kurang meyakinkan untuk kami berdua. Namun ternyata sanggup juga motor itu menggerakkan rodanya meski aku yakin sebagai pengemudi musti ekstra hati-hati,karena bisa saja motor itu jebol karena kelebihan beban. Sebelumnya akupun memberi tahu kami hendak menuju Nirwana Lodge, dan Bapak itu pun tahu dimana tempatnya. Lumayanlah dapat tumpangan pikir kami, so kami tak harus berjalan berkilo-kilo meter untuk menuju lokasi penampakan sunrise pagi itu. Bayangan kami pun salah, ternyata sekali lagi tak sampai 50 detik kami ternyata sudah sampai lokasi yang ternyata hanya beberapa meter saja dari tempat kami terakhir. Dan dengan motor itupun kami diantar hingga masuk melewati gerbang masuk dan jalan menurun dan sedikit berlaku, namun dengan material jalan yang terbuat dari batu alam yang relatif mahal menurut kalkulasiku.

Berhentilah kami di ujung jalan, yang menghadap ke pantai yang sangat memukau, indah, dan mempesona.Butiran pasir putih, dengan pinggiran nyiur kelapa rindang, dan bangunan villa yang sangat unik dan eksotis terpadu dengan langit yang mulai kemerah-merahan saat matahari mulai menampakkan diri di ufuk timur. Sebenarnya kami janjian denganSi Egi, Yuni dan Fie di tempat itu, namun ternyata setelah dikonfirmasi via telepon kami benar-benar memasuki tempat yang salah. Tapi tak apalah karena kita melihat matahari dan laut yang sama. Melihat sebentar ke ufuk timur dan merasakan keanehan. Barulah aku sadar saat itu adalah Bulan Juni dimana matahari berada di belahan bumi utara, sehingga matahari terbit agak lambat bagi kita yang berada sekitaran Pulau Jawa yang berposisi di belahan bumi selatan. Kupikir kami tak terlalu terlambat, meski saat ini menunjukkan pukul 5.25. Tapi tak apalah, meski demikian tampaknya banyak juga orang-orang yang telah datang sebelum kami dan menjelajahi villa tersebut, dengan bangunan berada di sisi tebing karang dan arsitektur etnik dengan kombinasi gebyok Jawa dan atap rumbia. Si Lusi yang emang punya insting untuk poto-poto, langsung mencari posisi tanpa komando, dengan sedikit improvisasi beberapa gambar telah terabadikan baik awan, laut, ataupun pria berjaket ijo yang sebenarnya tak terlalu suka dipoto..haha. beberapa keunikan tempat itupun akhirnya menjadi sasaran bagi si Lusi yang sedang on fire meski belum sarapan, tapi tampak sekali ia cukup fasih memutar lensa, mensetting tombol @#%&^ (entah apaitu) dan hasilnya pun yah lumayan lah...haha. Ini semua ternyata cuman soal perspektif...coz bagiku pemandangan ini tak ubahnya pantai yang cukup tertata,tanpa banyak melakukan rekayasa teknis selayaknya kota-kota di Pantura jawa yang selalu bermasalah dengan abrasi dan intrusi air laut..Entah benar entah salah bukankah laut sudah ada disana sebelum kita dilahirkan, sebelum ditemukan kamera, handphone, sandal, bahkan sebelum lahirnya budaya...Laut sudah lebih dulu tercipta dan melakukan fungsi ekologisnya. Namun, tekanan penduduk, beserta seluruh aktivitas masyarakat yang sebagian besar tinggal di kawasan pesisir namun orientasi maritim tampaknya masih belum membudaya. Bagi kita mungkin laut tak ubahnya seperti kolam raksasa dengan ikan di dalamnya, atau juga tempat sampah raksasa dimana limbah dan kotoran-kotoran sisa itu bermuara...Naudzubilah.Sekali lagi mengingatkan kalo itung-itungan itu benar, efek global warming menyebabkan 2 triliun ton es di kutub utara mencair, bayangkan saja kalo itu Tepung gandum..Oh God. Pastilah harga batagor tak semahal sekarang. Banyak dari pulau-pulau telah tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut, dan entah kapan kita masih bisa menikmati keindahan Karimunjawa, yang secara kasat mata juga mengalami hal serupa meskipun masih dalam tahap yang tidak terlalu mengkhawatirkan.

Teh Lusi masih tetap sibuk dengan kamera baru hasil tabungan yang 13 miliar itu...wkwk. Sementara matahari sudah mulai secara total menyinari teluk itu dan cukup membantu para juru poto itu untuk menghemat baterai karena tak perlu lagi menggunakan blitz,dan kulihat jam di hendphone ternyata sudah pukul 6.36, dan perlulah untuk segera bergegas kembali ke homestay dan mengambil nomor antrian kamar mandi.Mulailah dengan sisa tenaga yang ada kami berjalan pulang, dan tetap dengan mata di belakang kamera, Si Lusi yang kebetulan kali ini jadi pemeran utama mengambil gambar dari obyek yang menurutku biasa-biasa saja. Tak terlalu menarik dan istimewa untuk ukuran villa...wkwk, terlebih kami harus berjalan menanjak dengan sisa tenaga yang tak seberapa hingga sampailah di gerbang utama villa dengan seorang pemuda tanggung yang menyapa dan meminta bayaran masuk ke villa. Agak unik memang, uang masuk ditarik ketika seseorang keluar...dengan angka yang cukup fantastis pula yakni $1,25 per kepala. Sama dengan 6 mangkok es campur yang kunikmati malam sebelumnya. Dan sekali lagi pemeran utama dengan sigap membayar tarif siluman itu untuk dua orang, terlebih karena si figuran datang dengan tanpa membawa apa-apa.

Setelah merelakan uang untuk biaya perawatan dan kebersihan mulailah kami berjalan pulang dan sekali lagi berharap ada kendaraan yang lewat untuk mengangkut kami pulang karena jarak yang rada lumayan. Sejenak tampak ada kendaraan lewat, dan berusaha kuhentikan. Namun kali ini tak beruntung, perempuan yang tampaknya masih sedang belajar menggunakan sepeda motor itu hanya lewat dengan raut yang agak kebingungan..haha. Sekali lagi Tuhan memberikan kemudahan pagi itu, lewatlah seorang pemuda yang mengendarai motor tua, dan kuhentikan dengan sedikit posisi menghadang. Meskipun akhirnya dia sadar bahwa kami hanya ingin menumpang, namun sebelumnya dia terlihat gugup karena pada saat itu dia tak membawa STNK, helm,bahkan sekedar alas kaki. Namun pagi itu kami tak sedang melakukan operasi penertiban. Hanya sekedar mencari tumpangan untuk kembali ke rumah tempat kami menginap. Dan akhirnya dengan memanfaatkan lebar jog yang tak seberapa. Hinggasi sopir musti maju hingga duduk di tangki bahan bakar, karena sekali lagi maaf..satu diantara kami berbadan agak lebar, so posisi penumpang mesti ditata sedemikian rupa hingga ku juga musti duduk di begel belakang motor sehingga ketika ada guncangan, tulang ekor terasa bergetar beberapa richter selayaknya gempa.

Kuakui sekali lagi bahwa motor buatan Jepang memang dapat diandalkan. Meski dengan tipografi yang bergelombang (naik-turun) dengan beban yang luar biasa, motor 100 cc yang sudah rada karatan itu tetap bisa melaju meski suspensi dan kenyamanan tak masuk dalam skor evaluasi. Tak sampai 5 menit kami sampai di titik perhentian, dan setelah berterimakasih dengan sosok penolong kami yang tidak mau disebutkan namanya, akhirnya perjalanan pagi itu selesai dengan ending yang luar biasa.Meski tak mengharu biru, dan barangkali bisa ditebak hasil akhirnya, yang jelas, kami berhasil pulang dengan kondisi utuh dan tanpa terluka. Dan siap untuk petualangan sebenarnya di perairan Laut Jawa, masih di Gugusan kepulauan Karimunjawa. Namun, sebelum hal itu terjadi, perlulah dulu mengantri mandi sekedar untuk menyegarkan diri untuk selanjutnya menyelami di beningnya airlaut, melihat terumbu dan ikan-ikan menari tarian selamat datang untuk kamipara backpacker sejati dan beberapa masih rookie.

Oke then, see you when I see you...

To Lusi - Gud Job...

Lain-Lain